Sekali waktu di 2007, seorang wartawan Washington Post
meminta Joshua Bell, violis dan konduktor terkenal, yang biasa main di Carnegie
Hall New York, untuk melakukan sebuah eksperimen.
Joshua diminta mengenakan pakaian Pengamen dengan topi
bisbolnya memainkan biola yang bernilai 3,5 juta dolar itu selama 45 menit di
salah satu stasiun Metro (Subway/ MRT) di kota Washington (https://www.youtube.com/watch?v=LZeSZFYCNRw).
Eksperimen ini untuk
melihat apakah persepsi dan reaksi para penumpang MRT terhadap pengamen dan seberapa
tinggi selera dari orang yang lalu lalang untuk bisa menghargai kualitas permainan biola
seorang “pengamen” di tengah kesibukan mereka.
Konduktor terkemuka, Leonard Slatkin, meramalkan bahwa dari
1.000 orang, sekurangnya ada 35 atau 40 yang akan mengenali kualitas permainannya,
dan akan ada 75 hingga 100 yang akan berhenti untuk mendengarkan permainan
biolanya. Leonard juga memperkirakan eksperimen itu akan menghasilkan saweran
sekitar $ 150.
Faktanya, dari 1.097 orang yang melewati Bell, hanya 27 yang
memberikan uang, dan hanya 7 yang benar-benar berhenti dan mendengarkan untuk
waktu yang lama. Saweran yang diterima oleh Jodhua Bell hanyalah $ 52,17 dimana
$ 20 diantaranya berasal dari satu orang yang mengenalinya.
Padahal 3 hari sebelumnya Joshua Bell tampil di Boston’s
Symphony Hall dengan tarif per kursi minimal $ 200, dan full house.
Sama seperti itu, dua ribuan tahun yang lalu, satu pribadi
yang datang dari tempat yang Maha Tinggi untuk tampil di panggung dunia yang
hina ini, dan hanya sedikit saja orang yang perduli dan mengetahui kehadiran-Nya
dan pergi mencari untuk menyembah-Nya.
Kehadiran-Nya ditandai oleh sebuah kejadian alam yang tidak
biasa. Sebuah bintang muncul di timur. Hanya beberapa orang saja yang mampu
melihat peristiwa alam itu. Sebagai astorlog, mereka tahu bahwa sebelumnya
bintang itu tidak pernah terlihat. Sebagai orang memiliki hikmat dan
kebijaksanaan, mereka tahu ada seorang Raja yang lain dari raja yang lain telah
lahir. Mereka rela berjalan jauh untuk mengikuti petunjuk bintang itu.
Mereka membawa emas, kemenyan dan mur. Emas melambangkan
orang yang dicari adalah seorang Raja, kemenyan sebagai lambang bagi Imam dan
Mur sebagai lambang keharuman tetapi juga sebagai balsam untuk mengawetkan
mayat. Itulah lambang kematian Sang Raja.
Yang menarik dari kisah itu, mereka sempat bertemu dengan
para Parisi yang secara teori mengetahui akan datang Sang Raja di Bethlehem,
tetapi tidak mau ikut mencari dan menyembah-Nya.
Dalam meng-ingatraya-kan Natal di 2019 ini, apakah kita juga adalah
orang-orang yang terlalu sibuk, sama seperti penumpang MRT di Washington DC itu, atau apakah kita menggunakan momen ini untuk mengasah kepekaan kita, sama
seperti para Majusi yang peka atas tanda-tanda zaman?
Lalu, apa hadiah yang
kita persiapkan bagi Raja dan Imam kita itu, yang mau mati untuk menebus
dosa-dosa kita itu?
Kita masing-masinglah yang harus dan bisa menjawabnya. Saya akan menutup perenungan ini dengan sebuah quote yang saya kutip dari Wikiquote:
Christ could be born a
thousand times in Bethlehem – but all in vain until He is born in me. Angelus
Silesius.
Kristus dapat dilahirkan seribu kali di Betlehem - tetapi
semuanya sia-sia sampai Ia satu kali dilahirkan di dalam hatiku.
Comments
Post a Comment